Friday 23 January 2015

Beberapa Alat Musik Tradisional Lampung


Lampung memiliki beraneka ragam jenis musik, mulai dari jenis tradisional hingga modern. Adapun jenis musik yang masih bertahan hingga sekarang adalah Klasik Lampung. Jenis musik ini biasanya diiringi oleh alat musik gambus dan gitar akustik. Mungkin jenis musik ini merupakan perpaduan budaya Islam dan budaya asli itu sendiri.
Demikian juga dengan seni musiknya seperti gamolan balak atau talo balak, gambus lunik atau gambus anak buha, serdam, tembangan, gamolan pring atau lebih dikenal dengan cetik butabuh atau hadra.

A.     MUSIK BUTABUH ATAU HADRA.

Musik butabuh atau hadra merupakan salah satu musik tradisional Lampung dan jenis musik tradisi ini lebih sering kita jumpai di daerah Lampung yang letaknya di daerah pesisir, hal ini memiliki latar belakang seiring dengan sejarah dan perkembangannya sebagai salah satu sarana syiar agama Islam di Provinsi Lampung. Dengan sarana dan alat musik seperti tembangan atau kerenceng serta lantunan lagu syair berdzanji musik butabuh atau hadra ini ditampilkan.
Hadra terdiri dari 2 bagian atau kelompok yaitu hadra baru dan hadra lama demikian juga dengan zikirnya yaitu zikir baru dan zikir lama.
Hadra lama atau zikir lama merupakan kesenian tradisional Lampung yang bernafaskan Islam, di samping alat musik dan syair-syairnya pun seutuhnya merupakan syair-syair berdzanji atau pujian-pujian terhadap Rosul dan para Syekhnya.
Hadra atau zikir baru merupakan seni Islam yang sudah dikombinasikan dengan syair-syair atau pantun daerah Lampung baik pantun melayu ataupun pantun daerah Lampung itu sendiri.
Hadra dan zikir ini sering kita jumpai pada saat acara pesta adat atau nayuh dan biasanya dilantunkan pada saat malam hari menjelang satu hari dalam pelaksanaan pesta atau begawi dan yang membawakannya pun orang tua atau bapak-bapak yang usianya sudah berumur (usia lanjut).

B.      ALAT MUSIK.
1.      Gamolan Pekhing / Cetik.
KITA memang patut bergembira dan memberikan kepada panitia dari Pemprov Lampung dan Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) sebagai iniasi pertunjukan gamolan Lampung selama 25 jam oleh 25 grup, 7—8 Desember 2011. Pentas ini sukses tercatat dalam rekor Museum Rekor Dunia-Indonesia (Muri) kategori superlatif sebagai pertunjukan gamolan terlama di Indonesia.
Tulisan ini hanya sedikit catatan mengenai (sejarah) gamolan, yang populer dengan nama cetik, sering juga disebut gamolan peghing atau kulintang peghing. Membaca berita seputar gawean akbar tersebut, ada yang menggelitik dan saya merasa perlu meluruskan terutama terkait dengan asal-usul gamolan.
Gamolan sebagai sebuah instrumen musik tidak dapat dipisahkan dari perjalanan panjang peradaban Lampung dalam hal ini Kerajaan Sekala Brak. Rupanya gamolan Lampung telah diteliti Margaret J. Kartomi dan dicantumkan dalam bukunya Musical Instruments of Indonesia yang diterbitkan Indonesian Art Society Association with The Department of Music Monash University, 1985.
Margaret adalah seorang profesor musik dari Monash University Australia yang telah menggeluti musik gamelan selama lebih dari 30 tahun. Ia datang ke Lampung Barat medio 1982. Dalam bukunya, Margaret menyebutkan bahwa gamolan berasal dari Liwa, daerah pegunungan di bagian barat Lampung, "A Gamolan origin from Liwa in the montainous nortwest area of Lampung.”
Hipotesis yang menyatakan bahwa seperangkat orkestra gamelan Jawa adalah berasal dan merupakan pengembangan dan perkembangan dari gamolan Lampung juga sangat kuat dan mempunyai alur yang jelas. Setidaknya ada tiga hal yang menguatkan hipotesis ini. Pertama, pertama, hal yang relatif sederhana adalah merupakan peradaban awal dan adalah permulaan dari pengembangan hal yang lebih rumit dan kompleks [H. Stewart]. Kedua, secara etimologi dalam konteks nama relatif tidak berubah dari gamolan (Lampung) menjadi gamelan (Jawa). Ketiga, gamolan Lampung dibawa ke Pulau Jawa dan bermetamorfosis sedemikian rupa menjadi seperangkat orkestra gamelan Jawa. Gamolan Lampung dibawa ke Pulau Jawa saat Sriwijaya menguasai Nusantara, termasuk Jawa. Gamolan Lampung terpahat dalam relief di Candi Borobudur (abad ke 8 M). Candi Borobudur sendiri dibangun Dinasti Syailendra Sriwijaya, sekelompok orang yang membuat Candi Borobudur juga adalah orang Lampung [Hasyimkan, 2011].
Sriwijaya sebagai sebuah Kerajaan Maritim terbesar di Asia Tenggara mempunyai perjalanan sejarah yang panjang dan pertautan yang sangat erat dengan Kerajaan Sekala Brak. Kerajaan Sriwijaya didirikan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga seorang Raja Buddhis dari Ranau Sekala Brak. Pendiri Sriwijaya ini dijuluki Syailendravarmsa atau Raja Pegunungan.
Pandangan ini didukung pendapat para ahli dan sejarawan sebagaimana yang diungkapkan Lawrence Palmer Briggs dalam The Origin of Syailendra Dinasty dalam Journal of American Oriental Society Vol 70, 1950. Lawrence menyatakan "Sebelum tahun 683 Masehi ibu negeri Sriwijaya terletak di daerah pegunungan agak jauh dari Palembang, tempat itu dipayungi dua gunung dan dilatari oleh sebuah danau. Itulah sebabnya Syailendra dan keluarganya disebut Raja Pegunungan."
Jelas, dua gunung yang dimaksud Lawrence adalah Gunung Pesagi dan Gunung Seminung, sedangkan danau yang dimaksud adalah Danau Ranau.
Setelah perpindahan dari Sekala Brak, Sriwijaya setidaknya tiga kali berpindah ibu negeri, yaitu Minanga Komering, Palembang, dan Darmasraya Jambi. Namun, para sejarawan juga ada yang berpendapat bahwa Patthani di selatan Thailand adalah ibu negeri terakhir Sriwijaya.
***
Menurut Wirda Puspanegara, secara etimologi, gamolan berasal dari kata gimol yang artinya gemuruh atau getar yang berasal dari suara bambu dan menjadi gamolan, yang artinya bergemuruhan atau bergetaran. Sementara itu, begamol, artinya berkumpul. Seniman cetik (gamolan) Syapril Yamin mengatakan gamolan pada awalnya merupakan instrumen tunggal yang konon dimainkan dan yang menemani seorang meghanai tuha (bujang lapuk), yang menetak peghing mati temeggi atau tunggul bambu tua tegak yang sudah lama mati.
Gamolan yang merupakan instrumen xilofon yang berasal dari Lampung Barat, dideskripsikan Margaret J. Kartomi dalam Musical Instruments of Indonesia sebagai berikut: "Gamolan terdiri dari delapan lempengan bambu dan memiliki kisaran nada lebih dari satu oktaf, lempengan bambu tersebut diikat secara bersambung dengan tali rotan yang disusupkan melalui sebuah lubang yang ada di setiap lempengan dan disimpul di bagian teratas lempeng, penyangga yang tergantung bebas di atas wadah kayu memberikan resonansi ketika lempeng bambunya dipukul sepasang tongkat kayu. Gamolan memiliki tangga nada 1 2 3 5 6 7, dua orang pemain duduk di belakang alat musik ini salah satu dari mereka memimpin [begamol] memainkan pola pola melodis pada enam lempeng, dan yang satunya [gelitak] mengikutinya pada dua lempeng sisanya, lempeng lempeng pada gamolan distem dengan cara menyerut punggung bambu agar berbentuk cekung. Gamolan dimainkan bersama-sama dengan sepasang gong [tala], drum yang kedua ujungnya bisa dipukul [gindang] dan sepasang simbal kuningan [rujih]."
***

Namun, beberapa peneliti dari Taman Budaya Lampung (TBL) menyebut instrumen musik ini sebagai kulintang. Demikianlah dinamika gamolan dalam istilah dan penyebutan. Oleh sebab itu, saya sepakat untuk kembali menyebut gamolan bagi instrumen musik ini karena terkait dengan sejarah panjang serta fungsi dan peranan gamolan dalam tradisi masyarakat adat Lampung.
***

Walaupun sebagian besar etnis Lampung dari berbagai buay dan marga dari setiap konfederasi adat memiliki tambo sejarahnya masing-masing dan mengakui puyang ulun Lampung berasal dari dataran tinggi Sekala Brak di kaki Gunung Pesagi; tidak ada "origin Bersama" dari sebuah produk kebudayaan. Keris misalnya, walaupun telah menjadi salah satu produk kebudayaan besar Nusantara dan telah menjadi produk budaya dan tradisi tidak saja Jawa, tetapi juga Bali, Sasak, Sunda, Bugis bahkan Melayu namun tidak dapat dipungkiri bahwa Keris adalah produk dari Kebudayaan Jawa yang merupakan daerah originnya.Pergeseran istilah instrumen musik ini dari gamolan menjadi cetik, konon karena tampilan suara yang dihasilkan gamolan, sehingga akhirnya gamolan juga dijuluki sebagai cetik. Pergeseran istilah ini terjadi pada sekitar medio tahun 90-an. Demikianlah penyebutan gamolan menjadi cetik akhirnya menjadi lumrah dan menjadi sebutan yang umum bagi gamolan. Bahkan, dalam penulisan sekalipun seperti dalam penulisan buku Pelajaran Muatan Lokal untuk Provinsi Lampung.

Saya agak kaget manakala mengetahui bahwa Way Kanan juga adalah daerah asal dari gamolan, walaupun di Lampung, gamolan sebagai instrumen musik juga digunakan sebagai piranti adat di Semaka (Tanggamus) dan Way Kanan. Belum jelas seperti apa tepatnya informasi yang menyatakan bahwa Way Kanan juga merupakan origin dari gamolan peghing ini. Namun, sepertinya alasan politis dan kepentingan lebih berperan di sini.
Demikianlah apa pun dan bagaimanapun dinamika dari sebuah sebudayaan, tapi sejarah dan istilah harus diluruskan karena berkaitan dengan tradisi, falsafah, dan perjalanan panjang sejarah dan peradaban dari sebuah suku bangsa. 


2.      SERDAM.
Serdam merupakan alat musik tiup tradisional yang terbuat dari buluh bersuara merdu dan menyayat hati, dengan pembawaan nada dari sang peniup untuk mengungkapkan isi hati. Alat musik tiup tradisional ini begitu merakyat pada masyarakat. Menurut bapak Masykur Syafei, suara serdam ini  dapat membuat orang yang mendengarkan suaranya terpaut hatinya karena kekhasan bunyinya yang sendu atau sedih.
Memiliki nada pentatonis. Berbeda dengan Seruling  atau Suling, Serdam umumnya menghasilkan nada dasar G = do, terdiri dari 5 lubang yang menghasilkan tangga nada  berirama do, re, mi, sol, la dan si (1, 2, 3, 5, 6 dan 7).
Instrumen ini terbuat dari buluh yang berbentuk bulat berdiameter + 1 cm dengan panjang   + 25,5 cm. Diameter lubang peningkah + 4 mm, jarak dari ujung buluh ke lubang peningkah  + 4 cm, sedang jarak antara masing-masing lubang peningkah + 2  cm. Jarak lubang klep I dan klep II + 1,5 cm sedangkan jarak peniup ke klep I + 4 cm.
Fungsi :
Kegunaan Serdam sebagai alat hiburan. Dalam memainkan Serdam bersama-sama dengan instrument lainnya, Serdam biasanya untuk mengambil suara atau solis dan untuk mengiringi solis yang ada kaitannya dengan lagu.
Cara Memainkan :
Serdam biasanya dimainkan oleh seorang putra. Setiap satu Serdam dimainkan oleh seorang putra. Cara memainkannya ujung lubang peniup ditiup dan lubang-lubang penghasil nada ditutup dengan jari-jari. Seperti telah diterangkan di atas untuk mencari nada rendah atau tinggi dengan cara menutup atau membuka lubang-lubang jari yang ada di sepanjang tubuh Serdam. Instrumen ini dapat dimainkan dengan duduk, berdiri maupun berjalan.
Persebaran :
Mengenai persebaran alat ini, kiranya tidak akan mendapat kesulitan, sebab hampir semua lapisan masyarakat, gemar akan mendengarkannya. Dengan demikian alat ini mudah disebarluaskan sampai ke pelosok desa, baik melalui perorangan maupun secara kelompok.
3.      GAMBUS.
Gambus merupakan salah satu alat musik yang dimainkan dengan cara dipetik. Alat musik ini memiliki fungsi sebagai pengiring tarian zapin dan nyanyian pada waktu diselenggarakan pesta pernikahan atau acara syukuran. Alat musik ini identik dengan nyanyian yang bernafaskan Islam. Bentuknya yang unik seperti bentuk buah labu siam atau labu air (My) menjadikannya mudah dikenal.
Ada beberapa jenis gambus yang dapat diperoleh di mana saja, terutama di kawasan tanah Melayu. Jenis-jenis tersebut, seperti gambus yang hanya mempunyai tiga senar dan ada juga gambus yang mempunyai 12 senar. Jumlah senar biasanya terpulang pada yang memainkannya. Selain dimainkan secara solo, alat musik ini dapat juga dimainkan secara berkelompok.

4.      KOMPANG.
Kompang ialah sejenis alat musik tradisional yang sangat dikenal di kalangan masyarakat Melayu. Ia termasuk dalam kategori musik gendang. Kulit kompang biasanya terbuat dari kulit kambing.
Alat musik ini berasal dari Arab, ada juga yang mengatakan bahwa kompang berasal dari Parsi dan digunakan untuk menyambut kedatangan Rasulullah S.A.W. pada waktu itu. Selain itu, kompang juga digunakan untuk memberi semangat kepada tentara-tentara Islam ketika berperang. Kompang terdiri dari berbagai ukuran. Ada yang berukuran garis pusat sepanjang 22.5 cm, 25 cm, 27.5 cm dan ada juga yang mencapai 35 cm.
Kompang dimainkan secara beregu dalam keadaan duduk, berdiri atau berjalan. Jika kompang dimainkan dalam acara berzanji, pemain akan duduk bersila atau duduk di atas kursi. Jika dimainkan dalam acara pernikahan dan pawai menyambut pejabat daerah atau pejabat negara, pemain kompang ini berjalan mengiringi pengantin atau pejabat daerah, atau pejabat negara tersebut.
Kompang dimainkan dengan menggunakan kedua belah tangan. Sebelah tangan memegang kompang, dan sebelah tangan lagi memukul kompang. Terdapat tiga rentak dalam permainan kompang, yaitu rentak biasa, rentak kencet, dan rentak sepulih. Rentak yang biasa dimainkan ialah rentak biasa. Rentak kencet ialah rentak di tengah-tengah pukulan, kemudian seolah-olah terhenti seketika. Sedangkan rentak sepulih dimainkan untuk kembali pada rentak lagu pertama.
Alat musik kompang ini harus dijaga dengan baik. Sebagian masyarakat Melayu percaya bahwa kompang harus diletakkan pada suatu tempat tertentu, tidak boleh dilangkahi atau dipijak. Jika hal seperti itu tidak diindahkan, maka orang tersebut akan dirasuki oleh ........, seperti tidak sadarkan diri ketika memukul kompang. Pukulan tersebut terus dilakukan oleh orang yang kesurupan itu, hingga ia cedera, atau terluka.


No comments:

Post a Comment